l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l

Senin, 22 Maret 2021

CERITA HOROR | DIPERKOSA SETAN

 DIPERKOSA SETAN (18+)

CHAPTER 1: SINTIA
Yang Sintia tahu hanya kehidupan malam menyenangkan, tapi sangat kelam dengan segala pikiran yang terbenam. Makna dari lenggak-lenggok tubuhnya mengikuti irama musik bising di kelab ini bukanlah suatu kebahagiaan, melainkan pelampiasan untuk meredam ego diri sendiri. Mungkin seharusnya dia sholat dan mengaji, tetapi untuk wanita seperti Sintia, kedua ibadah ini sangat sulit dia percaya dapat menghilangkan segala kesusahan dan kegelisahan. Memang tak heran, karena di dunianya, tidak ada istilah ibadah. Ibadah itu: kewajibannya melenggak-lenggokkan tubuh di kelab, berbaur dengan para lelaki yang sedang dimabuk nafsu.
Bulir-bulir bening berlomba keluar dari pori kulit Sintia: di leher dan dahi. Itu seperti ajang perlombaan. Bagian tubuh manakah yang akan lebih banyak mengeluarkan keringat? Meski begitu, tak ada niatan Sintia untuk menyudahi aktivitas melelahkan ini. Dia akan terus bergerak hingga pagi dan kelab tutup. Namun, jika hanya untuk beristirahat, paling saat satu musik telah habis diputar. Dia akan meraih botol minuman, lalu menenggaknya dengan semangat bergejolak.
Seperti biasa, saat Sintia sedang mengambil napas, sekadar menyiapkan diri untuk musik berikutnya, para lelaki berkerumun mengelilinginya. Ada enam pria yang siap membawanya bersenang-senang di dunia yang—sungguh nikmat baginya.
"Sintia, mari tidur bersamaku. Aku baru saja gajian, uangku banyak. Berapa yang kamu inginkan, Sayang?"
Sintia hanya tersenyum getir mendengar tawaran lelaki hidung belang yang berdiri di depan mejanya. Semua lelaki di tempat ini seperti yang Sintia tahu adalah hewan buas. Mereka ini domba bernafsu. Sintia tak bermaksud memberikan kemolekan tubuhnya pada lelaki-lelaki di hadapannya, meskipun uang mereka banyak. Untuk apa? Uang bisa dia cari dengan bekerja. Toh, dia itu model. Satu kali pemotretan, bisa dapat uang. Sayangnya, sudah sebulan lebih dia tidak dipanggil fotografernya. Jadi, keuangan Sintia benar-benar menipis. Meski begitu, tak ada niatan untuk menghemat atau mencari pekerjaan lain. Dua hal ini sungguh merepotkan baginya.
"Delapan puluh juta. Mampu, nggak?"
Sintia tidak serius. Dia hanya berusaha agar para lelaki itu mundur mengajaknya tidur dan menikmati malam yang panjang dengan luapan nafsu yang membuncah.
"Delapan puluh juta?! Kamu gila?! Udah kayak artis aja harga segitu."
"Terserah. Aku nggak peduli kalian mau atau nggak. Yang jelas, minggir kalian semua. Melihat kalian aja bikin eneg."
Para lelaki yang mengaku pencinta wanita ini segera menyingkir sambil melengos. Sejak lama mereka mengincar Sintia, ingin menikmati tubuh yang kata orang mirip seperti gitar Spanyol. Kenyataannya, bibir tipis kemerahannya saja tidak bisa didapatkan, apalagi setiap bagian dari tubuhnya yang lebih banyak mengundang nafsu.
Namun, uang yang berbicara. Meski sadar Sintia tidak serius dengan perkataannya, para lelaki itu memilih mundur dan merencanakan sesuatu yang lain, terutama si lelaki berambut keriting yang sekian tahun hanya bisa menelan saliva saat memandangi tubuh Sintia yang dibalut pakaian seksi: gaun tanpa lengan di atas lutut, otomatis menampilkan putih bersih pahanya. Tidak lupa, bagian menonjol di depan terlihat menyeruak. Bagaimana mungkin lelaki akan tahan melihatnya? Ada, tetapi hanya mereka yang punya iman kuat.
Kali ini, Sintia tidak tahan untuk terus menggerakkan tubuh sementara kepalanya terasa ditimpuk batu raksasa. Karena itu, Sintia pun memilih pulang saat jarum jam di tangan kanannya menunjukkan angka tiga.
Sintia lebih mirip seperti bidadari daripada iblis, tetapi sifatnya sama sekali tidak seperti bidadari-bidadari dalam dongeng. Ah, dia pun tidak pernah menginginkan menjadi seperti bidadari. Yang dia mau hanya uang agar cepat-cepat mengirimnya ke kampung untuk biaya SPP sekolah adiknya yang telah dia tunggak selama sebulan.
Pikiran yang merajai kepalanya saat ini adalah bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dengan cara cepat. Bekerja tidak mungkin, akan memakan waktu. Maling pun tidak mungkin karena Sintia tidak ahli melakukannya. Dirinya yang lain memberikan satu pilihan, yaitu menjual diri. Akan tetapi, dirinya yang lain juga melarang. Dia sangat tidak suka disentuh laki-laki, apalagi laki-laki yang tidak dia cintai.
Sintia melewati sebuah pohon beringin raksasa di makam yang terkenal berusia paling tua saat melewati perkampungan. Dia berhenti tatkala mengingat mitos yang selalu dibicarakan teman-temannya mengenai pohon ini. Teman Sintia pernah bercerita bahwa pohon beringin yang tingginya mencapai lima puluh meter ini dapat mengabulkan permintaan siapa saja dengan cara memberikan kemenyan dan beberapa persembahan lainnya.
Ide melintas di jalur pikiran Sintia. Dia berniat meminta bantuan pada pohon beringin raksasa. Namun, dia tidak membawa kemenyan dan persembahan lain untuk digunakan memanggil penunggu pohon tersebut. Meski begitu, Sintia bersikeras dan mencoba-coba; siapa tahu berhasil.
Dengan langkah yang sangat hati-hati, hampir derap sepatu hak tingginya tak terdengar. Sintia menarik napas dalam saat tiba di pohon. Ditatapnya bagian atas pohon yang begitu gelap; banyak ditumbuhi oleh tumbuhan parasit.
Tidak ada rasa takut, yang ada hanya rasa tidak sabar jika dia benar-benar berhasil mendapatkan uang setelah meminta bantuan pada pohon ini. Pikiran orang susah seperti Sintia kadang tidak waras. Namun, siapa yang akan disalahkan? Jika dia sudah berkeinginan menduakan Tuhan karena tak percaya lagi bisa membantunya menyelesaikan segala masalah, maka dia jadi tak waras dan berpenyakit hati. Segala hal jadi masuk logika meskipun sebenarnya sangat sulit diterima akal sehat jikalau sebuah pohon dapat membantu manusia.
Setelah berhasil menarik napas yang cukup dalam sambil menahan getaran rasa takut yang mulai datang, Sintia memulai komunikasinya dengan pohon, atau lebih tepat penunggu pohon: makhluk tak kasat mata.
"Pohon. Katanya kamu bisa mengabulkan keinginan semua orang. Bagaimana caranya? Apa yang harus dilakukan?"
Sintia memang tipikal orang yang tidak suka basa-basi. Jika dia seorang pemanah, dia lebih suka menembak tepat ke jantung atau kepala musuh.
Lolongan anjing menjadi respons atas pertanyaan Sintia. Tak sedikit pun pohon berbicara atau sekadar melambai-lambaikan cabang dan rantingnya. Sintia mulai mengulang pertanyaan, bahkan sampai tiga kali berturut-turut pun tak ada jawaban. Sintia hanya tersenyum getir sambil berpikir bahwa dirinya telah menjadi gila karena uang.
Baru saja Sintia akan melangkah, asap tak berbau muncul mengelilingi pohon ini dari bangunan tua di dalam makam. Sintia dengan wajah heran terdiam melihat asap itu terus mengalir dari sana, seolah melawan hukum alam: tak akan ada asap bila tak ada api. Bisa dibilang yang dilihat Sintia kali ini bukanlah fenomena alam yang bisa dinalar akal.
Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leher Sintia. Padahal keringat sehabis berjoget ria di kelab baru saja kering, sekarang justru basah lagi. Mata sipitnya membulat sempurna. Terakhir, yang bisa dilakukan Sintia hanya menelan saliva. Kedua kakinya tak dapat bergerak sesuai kehendak, seolah ada yang menahannya di sana.
Asap yang terkumpul pada awalnya mengelilingi pohon langsung membentuk sesuatu. Meski sedang diselimuti rasa takut, Sintia tak sabar melihat akan jadi apa asap itu. Prosesnya berlangsung cukup lama. Suasana kelam semakin pekat setelah sebuah suara sesuatu membentur benda lainnya. Hadir juga suara pintu tua yang terbuka, lalu ditutup lagi.
Terakhir, tempat Sintia berada berubah gelap yang teramat. Dia tidak bisa melihat apa pun, bahkan melihat dirinya sendiri pun tak bisa dilakukan.
Sintia berusaha menggerakkan tangannya, tetapi dia merasa tak mampu seolah ada yang mengikat. Dia jadi sadar akan posisinya: tidak terasa berdiri seperti yang dia lakukan sebelumnya. Dia seperti berbaring di sebuah ranjang, dapat Sintia rasakan di bawah punggungnya adalah kasur yang tidak cukup empuk memberikan tempat berbaring bagi tubuhnya.
Gelap yang menelungkup seluruh tempat mulai hilang ditelan cahaya, perlahan. Mata Sintia pun dapat melihat kembali, tetapi benar dugaannya bahwa dia sedang berbaring di sebuah ranjang kayu tua dengan tangan yang diikat. Sintia membelalak saat setelahnya menyadari berada di gubuk reyot seperti yang ada di dalam makam.
"TOLONG!"
Meski belum sepenuhnya yakin berada di bangunan yang ada di makam itu, Sintia berpikir tidak seharusnya berada di sana. Dia harus keluar dan tidak peduli bagaimana dia bisa berada di tempat itu.
Bau anyir menyengat menggelitik lubang pernapasan Sintia hingga membuatnya terbatuk-batuk dan mual. Sintia jadi tak bisa berteriak. Lalat-lalat dan kecoa memenuhi ruangan kumuh. Dinding-dindingnya kotor dan dipenuhi bercak darah.
"Siapa ... aja, tolong." Suara Sintia semakin lirih karena bau bangkai yang merusak pernapasan.
Tak berselang lama, sesosok makhluk bergerak pelan, masuk ke ruangan. Makhluk dengan jubah hitam; tertunduk. Degup jantung yang memberontak adalah penolakan Sintia terhadap apa yang dia alami saat ini. Meskipun tidak dapat dipercaya, tetapi sensasi itu nyata dan benar adanya. Tampak jelas di netra. Makhluk itu berhenti setelah berada di depan ranjang. Suara Sintia mendadak hilang saat makhluk ini mengangkat kepala dan kedua matanya menggantung hingga dagu. Darah mengalir bercucuran. Angin yang entah datang dari mana menyingkap tudung yang dikenakan sang makhluk, terlihatlah batok kepalanya terkelupas.
Sintia muntah di tempat tanpa menahan diri. Dan tanpa pernah diduga sebelumnya, makhluk ini menunggangi Sintia seolah kuda. Apa yang berusaha dia lakukan? Mungkin sesuatu yang tidak terduga lainnya.
Sintia bersikukuh melepaskan diri, melepaskan tangannya yang sedang diikat pada ranjang. Namun, erat dan sangat keras kain yang mengikatnya. Bahkan semili pun Sintia tak dapat menggeser kakinya karena diikat sama kuat seperti tangannya.
"Le ... paskan!"
Sang makhluk menggerayangi tubuh Sintia, mencabik-cabik gaunnya dengan kuku yang tajam dan panjang. Dia seolah singa buas yang berhasil menangkap mangsa. Sintia adalah mangsanya. Yang diincar makhluk itu adalah tubuh Sintia. Tak dapat melawan, tak kuasa menahan, Sintia tak sadarkan diri.
-II-
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive

trenggalek

Definition List


Selamat datang di Blog kecil kami. sebuah catatan perjalanan yang tak pernah usai.

Unordered List

Support