SEBUT NAMAKU LASMI MAS
#PART_1
Aku seorang pekerja keras, dan sering pulang agak larut malam. Sebut saja namaku Rahmat, saat ini aku ditugaskan di suatu daerah pinggiran kota yang di mana lokasinya menjorok agak masuk ke dalam hutan, saat menjelang sore kuusahakan pulang lebih cepat. Agar tidak begitu gelap jika di jalan nanti, penduduk setempat kurang memiliki penerangan yang memadai untuk lokasi jalan depan rumah mereka.
Walau demikian, industri berkembang pesat di daerah ini, terlihat dari segi ekonomi mereka sudah membaik. Karena remaja di sini telah banyak bekerja pada sektor-sektor yang ada, sehingga membuat aku dipindah tugaskan ke daerah ini. Aku bekerja di sebuah pabrik yang nota benenya lumayan besar, sayang jika aku melewatkan kesempatan emas begitu saja, dan di sinilah awal mula kisahku.
🍁🍁🍁
Sore menjelang petang, pabrik tempatku bekerja sudah mulai sepi. Karyawan-karyawan sudah pulang pukul 16.00 WIB, tepat jika tidak ada jam tambahan lembur yang hanya meninggalkan diriku dengan beberapa staf serta satpam penjaga pintu masuk pabrik.
Aku melangkahkan kaki begitu cepat karena tak ingin petang di jalan. Kualihkan pandangan ke atas langit, terlihat cahaya surya sudah mulai menunjukkan jingganya. Kutepis rasa was-was yang menghampiri. Entah mengapa hari ini begitu berbeda dari biasanya, dengan cepat diri ini berlari menuju parkiran untuk mengambil motor dinas yang telah menjadi milikku saat ini.
Kuambil kunci dan segera menancapkannya, tak lupa kustater motor dengan perasaan ingin segera meninggalkan pabrik.
Klotok ... klotok ...!
"Kenapa lagi ini motor?!"
Mendengar ucapanku yang sedikit keras, tak sengaja satpam penjaga segera menghampiri.
"Kenapa motornya, Pak Rahmat?" tanya satpam bernama Pak Soleh, terlihat dari name tagnya.
"Rewel lagi ini kayaknya, Pak," jawabku sambil melirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul 18.00WIB.
“Begini saja Pak Rahmat, sebaiknya motor bapak bawa ke bengkel sebelah pabrik untuk ditinggal saja. Karena tidak mungkin harus menunggunya."
Aku tercengang mendengar penuturan Pak Soleh. Bagaimana mungkin aku pulang dengan berjalan kaki?
“Oke, Pak. Saya coba cari ojek saja, semoga masih ada yang lewat. Assalamu'alaikum."
Aku pun mengucap salam sebagai penutup perbincangan kami. Motor tak lupa kutitip pada bengkel yang sudah tutup saat itu. Kebetulan teknisinya sudah pulang sehingga pemilik kios bengkel lah yang menjaga motorku.
Sungguh sial hari ini! Aku merutuki kekesalan dan pergi ke arah pulang sambil melambaikan tangan ke jalan.
"Semoga saja ada yang memberi tumpangan," ucapku penuh kekesalan.
Tak berapa lama rintik-rintik hujan membasahi bumi. Semakin aku berjalan, hujan semakin terasa membasahi seluruh baju dinasku. Jaket kulit yang kukenakan tak mampu menahan air yang berusaha masuk merambati seluruh tubuh, kunikmati saja hujan ini atau harus berteduh dan meluangkan waktu lagi.
Sudah 30 menit aku berjalan hanya redup dan sepi yang menemani diri. Hujan ternyata cukup deras, dan terpaksa kuteduhkan badan di sebuah pohon besar agar benar-benar mengurangi hempasan air hujan.
Saat sedang melamun dan melihat datangnya kendaraan. Aku dikejutkan dengan datangnya seorang perempuan entah dari mana datanya. Dia hadir begitu saja, tapi yang jelas dia bukan setan atau sejenisnya. Kaki polosnya menapak di tanah dengan balutan gaun selutut serta leher yang memakai syal berwarna hitam sungguh sempurna.
Perempuan itu ikut berteduh di sebelah kiriku, tersirat senyum lembut sambil mengulurkan tangan kanannya. Mungkin dia ingin berkenalan, aku pun mencoba meraih tangannya. Dingin.
Itu yang kurasakan, tapi tak menepis rasa penasaranku pada perempuan itu. Tetesan air hujan membuatku tubuhku menggigil mengeluarkan napas hangat di tangan begitu juga dengan dirinya.
"Maaf ... saya boleh menanyakan sesuatu?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Boleh, Mas. Silakan, emang Mas Rahmat mau nanya apa?" jawabnya dengan nada lembut.
"Dari mana asalmu? Dan kenapa tiba-tiba kamu muncul di sebelahku?"
Spontan aku melontarkan semua pertanyaan yang ada di benakku.
Dia pun tersenyum sambil meraih tanganku, sebagai laki-laki yang belum beristri tentunya. Aku tersentak olehnya yang berani memegang tanganku dengan begitu erat.
Perempuan itu tersenyum dan mengatakan. "Mas mau ikut ke rumahku? Disana kebetulan ada acara pernikahan kebetulan digelar hiburan serta orkes musik. Saya disuruh ibu untuk mencari beberapa keperluan hajatan," jelasnya sambil mengeluarkan gulungan kain dan memperlihatkannya padaku.
Entah apa yang memasuki diri ini sehingga terhanyut oleh senyumannya. Satu hal yang pasti, aku masih tersadar dan tidak berhalusinasi.
“Oh iya, Dek. Apa beneran saya boleh ikut ke rumahmu?"
Tanpa berpikir panjang, kusambut ajakannya saat itu juga. Dia gadis rupawan nan lembut, sungguh aku terbuai olehnya. Mungkin saja dia adalah jodohku. Aku pun berharap demikian. Sebab, hasrat kelelakianku muncul lebih dalam. Semoga saja dia jodohku. Amiin.
Part_2
Klik Disini
0 komentar:
Posting Komentar